Bumisme :Isu global warming yang telah menjadi topik paling sering diserukan oleh masyarakat dunia belakangan ini membuat berbagai lapisan masyarakat tiba tiba peduli dengan alam sekitarnya. Berbagai komunitas bahkan pemerintahpun mulai melakukan program program yang mendukung gerakan Go Green. Namun sadarkan sebenarnya bahwa Kita ternyata sangat telat dalam hal ini. Berikut beberapa suku yang ada di Indonesia yang membuat Kita kelihatan telat dalam mengurus bumi ini :
1. Dayak Iban
Suku yang mendiami pulau Kalimantan ini menjadi patut dijadikan contoh bagi kehidupan Kita dalam mengurus bumi ini. Suku Dayak Iban sendiri tinggal di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Daerah yang ditinggali oleh Suku Daya Iban memiliki hutan cadangan di Sungai Utik, di area ini ditumbuhi kayu meranti, kapur, ladan, dan beragam jenis rotan.
"Hutan memberi kami air bersih, sehingga darah kami bersih. Tanah kami utuh, tanah menua dan tidak dibabat. Hutan kami menangkap karbon, gas yang beracun sehingga kami terlindung dan kami tidak terkena penyakit." begitu lah tutur Mereka dan mejadi salah satu alasan kuat dalam menjaga lingkungan
Selain itu Suku Dayak Iban di kawasan Sungai Utik menolak tawaran investor untuk mengubah hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit, yang banyak dibuka di kawasan perbatasan Sarawak Malaysia itu. Kearifan menjaga hutan ini tahun 2008, Sungai utik merupakan Hutan Adat yang pertama mendapat sertifikat ekolabel, dalam pengelolaan hutan lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia.
2. Suku Rejang Jurukalang
Suku Rejang Jurukalang berada di beberapa kawasan yang tersebar di Bengkulu. Suku Rejang Jurukalang harus di akui memliki kearifan tersendiri dalam melestarikan hutan didaerahnya.
Masyarakat Suku Rejang Jurukalang sendiri memiliki UU yang dinamakan UU Simbur Cahayo. UU ini dibuat oleh Bangsa Belanda tepatnya bernama Van Bossche dan kemudian dilakukan beberapa kali perubahan didalamnya. Dalam perkembangannya sekarang Undang Undang Simbur Cahayo menjadi salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis yang selalu dijadikan sebagai referency dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di Masyarakat Jurukalang
Taneak Tanai. Sebutan untuk hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga. Setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai, durian dan lainnya sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.
Utan atau Imbo Piadan. Ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, di Jurukang kawasan Bukit Serdang adalah kawasan yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut
3. Suku Wana
Di masyarakat Wana (Tau Taa Wana Bulang) di Sulawesi Tengah memiliki setidaknya 14 praktik kultural yang menggap bahwa hutan disekitarnya memiiki "Kekuatan Gaib"
Kerena Praktik budaya lokal inilah yang menghasilkan dampak positif terhadap konservasi hutan yang dilakukan masyarakat Wana.
Ada 14 bentuk praktik ritual kearifan lokal yang dijalankan masyarakat Wana dalam melestarikan hutan dan lingkungan sekitarnya. Beberapa di antaranya ialah ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah), dan Polobian (pengobatan).
Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu dikeramatkan.
Kawasan hutan kedua disebut LEUWEUNG Larangan yang luasnya kurang lebih tiga hektar, dikeramatkan karena di sana dimakamkan leluhur masyarakat Suku Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari hukum sebab akibat. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
5. Suku Kajang
Suku Kajang Disebut juga masyarakat adat Ammatoa. Hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Merekamengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba.
Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi
Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa
Masyarakat Ammatoa mempraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Ajaran ini menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang
Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa (Hasbi, 2005: 270).
Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008).
Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang.
Satu lagi prinsip hidup yang patut dicontoh disebut tallase kamase-mase. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna.
Prinsip tallase kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari,
_______________________________________________________________________________
0 komentar:
Posting Komentar